Setelah melewati gerbang, nampak terlihat di lapangan sudah mulai dipenuhi lautan siswa siswi kelas 3, aku bergegas lari menuju kerumunan dan mulai mencari kumpulan teman sekelasku. Sambil tengak tengok banyak diantaranya yang memanggil namaku atau sekedar tersenyum menyapa. Aku tak seberapa mengenal mereka bahkan ada juga yang tak kukenal, tapi aku tetap balik menyapa mereka, kita tidak boleh pilih pilih kalau berbuat baik, kalau teman ya tetap harus pilih pilih apalagi dijaman yang serba mengerikan seperti ini, kawan pun bisa jadi lawan. Akhirnya setelah membelah kerumunan aku menemukan titik kumpulan kelas ku, dan dipertegas suara Tsabina lantang memanggil. Aku menghampirinya tak ketinggalan senyum yang menampakkan lesung pipiku.
"Jani... Jani... Jani... aduh deg degan ga sih, bentar lagi pengumuman". Ucap Bina sambil menggoyang goyang lengan tanganku.
"Hehehehe... aku juga nervous buanget, tapi tenang bestsay, jangan panik jangan panik, percaya deh pasti kita semua lulus,,, Aamiin...". Balasku disela tawa.
" Aamiin... ". Koor Bina dan teman sekelasku yang lain.
"Eh, Jani kamu tadi berangkat sama siapa? Cowo kamu? Anak mana? Anak kuliahan ya kayanya? Benerdeh, cakep banget, so suit lagi pake acara cium kening, kamunya cium tangan". Rentetan pertanyaan Hilza penuh selidik.
"What... serius... Anjaniii kamu hutang penjelasan sama kita..". Sela Bina juga Kara ngegas.
"Selooow bestsay... itu tadi ...." . Belum aku menyelesaikan kalimat ku, terdengar suara waka kesiswaan Pak Suryanto menginterupsi kami semua untuk berbaris sesuai kelas, karena kertas kelulusan akan dibagikan.
"Assalamualaikum, selamat pagi semua... anak anak harap tenang, dan bisa sambil berbaris sesuai kelas masing masing, karena setelah ini akan dibagikan kertas kelulusan kalian oleh walikelas masing masing. Terimakasih".
Beberapa saat kemudian, sudah terdengar suara ibu wali kelas tercinta, Ibu Mala.
"Assalamualaikum, selamat pagi anak anak, hari ini masuk semua ya, tolong di pastikan lagi temannya, mungkin teman sebangku kalian belum hadir..".
"Siap sudah hadir semua bu...". Sahut Ricky sang ketua kelas setelah memastikan anak buahnya ada dalam barisan.
"Okay anak anak, di tangan saya sudah ada kertas kelulusan yang akan saya bagikan, tapi sebelumnya, setelah nanti saya bagikan, jangan ada yg mengintip, mencoba membuka anvlope ini ya, nanti membukanya sesuai interupsi. Nanti kita buka sama sama dengan kelas yang lain. Hari ini juga ibu mau mohon maaf pada kaluan semua, jika selama ibu mendampingi kalian dikelas 3 ini, ibu ada salah kata atau mungkin kalian sakit hati dengan perlakuan saya, sekali lagi saya mohon maaf, sampai sini titik saya mendorong kalian untuk melakuan yang terbaik semoga kedepannya mendapat dan diberikan yang terbaik. Jalan kalian masih panjang, lanjutkan perjuangan kalian semua, semoga ilmu yang kalian dapat 3 tahun ini dapat menjadi manfaat Aamiin...".
"Aamiin... sama sama bu". Jawab kita serempak.
Saat ini adalah sebuah penentuan, anvelope kertas kelulusan sudah di tangan. Interupsi dari waka kesiswaan terdengar, tapi suaranya seakan kalah dengan deguban jantung kami.
"Siap anak-anak kita countdown ya, tiigaa... duuuaa... satuuuu... bukaaaa..."
Dengan mulut yang tak henti merapalkan doa, tangan gemetar dan mata yang berkaca, karena tiba tiba bayangan orang tua, guru dan segala yang terjadi baik prestasi maupun kenakalan bersama teman terlintas, sedetik setelah anvelope terrobek dan kertas terbuka, seketika semua hening dan kemudian suara pekikan riuh terdengar bersahutan bersamaan topi abu abu yang melambung tinggi.
"Aku LULUS...".
"Alhamdulillah...".
"Selamat anak anak semua ... sekali lagi selamat untuk kalian semua, selamat untuk sekolah kita, Alhamdulillah sekolah kita 100% lulus, selamat, selamat melanjutkan perjuangan kalian, semangat meraih cita cita kalian, sampai dititik ini kami semua dewan guru mendampingi dan menghantarkan kalian, lanjutkan mimpi mimpi kalian. Pesan kami, lihatlah dunia luar, gapai cita cita kalian, jangan buang waktu, jangan menunda nunda, berusahalah dan jangan lupa berdoa karen semua harus dimulai dengan doa".
Suara tangis haru tak terbendung. Begitu pula aku dan sahabatku, kami berpelukan berempat, mengenang awal perjumpaan kita, dan sampai dititik ini, yang akhirnya akan memisahkan kita satu sama lain, karena hidup adalah pilihan, pilihan dan kemauan kita pun berbeda, tapi kita tetap selamanya.
"Guys, selamat untuk kelulusan ini, ini titik awal untuk jalan yang akan kita tempuh, dimana mungkin kedepannya akan banyak kerikil ataupun kelokan tajam yang kita lewati, yg membuat kita merasa gagal, tapi aku harap kalian tetap ingat kita selalu ada untuk satu sama lain dan kita punya Tuhan yang ga akan ninggalin kita. Semangat untuk kita semua...". Pesan ku pada para sahabatku.
"Yey, semangat semua bestsay...". Pekik kita berempat.
"Eh...eh.. tunggu, Anjani kamu masih punua hutang penjelasan sama kita... jangan pura pura lupa ya". Sela Hilza yang di angguki Bina juga Kara.
"Kalian mau tau aja apa mau tau bangeet sih... hehehe".
"Udah jawab aja Anjani, jangan bikin penasaran, kan setelah ini kita pasti jarang jarang kumpul kaya gini, Aku malam ini berangkat ke Jakarta, Bina fix ke Jogja, Hilza lusa ke Jakarta dan kamu juga ke Surabaya". Ingat Kara.
"Okay okay bestsay, jangan panik. Jadi cowo tadi pagi itu Mas Abi". Mendadak hening jeda sbentar. "Hellow guys... kok pada manequin challenge? Guys kalian ga lagi cosplay squid game?".
"Mas Abi pulang kesini sungguh Jani? Jadi pinisirin Mas Abi kaya gimana sekarang, anak anak pada heboh tau". Ujar Kara heboh.
"Yuk pada mau ketemu gak? Mas Abi lagi di d' Cofee sebrang sekolah, lagi meet up sama temennya".
"Yuk bisa yuk, cap cuz genks...". Serentak menjawab.
Sesampainya didepan gerbang, ternyata Hilza sudah di tunggu supir keluarganya, mau takmau Hilza harus pulang, tinggal aku, Bina dan Kara, saat mau menyebrang, tiba tiba ada ada yang menarik pergelangan tanganku menjauh dari Bina dan Kara.
"Aduh, sakit, lepaass, hei...". Aku terus meronta mencoba melepas cekalan tangannya, tapi tenagaku gak cukup kuat, selain sakit aku juga malu karena banyak pasang mata yang melihat kejadian ini, wajahku pun sudah memerah menahan tangis sampai akhirnya.
"Srek... Bugh... lepasin tangannya, kasar banget, kamu laki laki apa banci, memperlakukan perempuan seperti ini". Ya dia Mas Abi yang menolongku dari lelaki kasar itu.
"Ga usah ikut campur urusan saya". Jawab lelaki itu sinis.
"Ini jadi urusan saya, karena perempuan yang kamu seret seret itu adik saya".
Jawab Mas Abi penuh emosi.
"Sudah mas, mas Abi tenang, Jani gapapa, pulang yuk, malu dilihat banyak orang". Ucapku penuh permohonan dan menarik lengannya.
"Ayo, kita pulang...". Ucap mas Abi menggandengku menuju motornya. Sempat kulihat wajah lelaki tadi penuh keterjutan dengan raut penyesalan.
Suasana hening di perjalanan, aku dan mas Abi dengan pikiran kami masing masing. Sampai akhirnya mas Abi membawaku berbelok ke minimarket. Membawaku turun dan duduk di kursi yang ada didekat minimarket. Mas Abi meninggalkanku masuk kedalam minimarket, dan beberapa saat kemudian keluar dengan membawa beberapa bungkus roti dan dua kotak milo kesukaanku serta satu botol air mineral. Diangsurkan air putih kepadaku setelah sebelumnya mas Abi membuka segel dan tutup botolnya. Sambil memandang wajah ku yang masih shock akan kejadian tadi.
"Minum dulu dek". Suaranya memecah keheninganku. Aku mengambilnya perlahan tanpa memandangnya karena selain masih shock aku juga takut nada suaranya yang siap memberondongku dengan banyak pertanyaan. Karena aku masih mempertahankan posisiku yang merunduk, perlahan setelah suasana mas Abi tenang mengangkat daguku, sehingga aku bisa melihat wajah mas Abi. Setelah menghembuskan nafas lelah, akhirnya aku bersuara, tanpa Mas Abi bertanya aku menjelaskan semua.
"Dia ...".
"Sebenarnya...".