Rabu, 09 Maret 2022

Aku Anjani

                                     5




Perbincangan ini sempat terhenti karena kemunculan ibu dan aku, membawa minuman dan camilan.

"Silahkan diminum, dan camilannya, maaf seadanya". Ucap ibu di sela sela menurunkan cangkir, dan kemudian ibu dan aku ikut bergabung di antara bapak dan juga mas Abi.

"... Jadi maksud kedatangan kami sekeluarga, saya disini mewakili putra saya Dewa adalah mengikat putri bapak, untuk hubungan lebih dalam lagi dimana kami sekeluarga berharap semua berujung adanya pernikahan, mohon maaf sebelumnya, mungkin ini semua mengejutkan bapak dan keluarga, tapi sungguh maksud dan tujuan kami baik, beberapakali juga kami sudah jumpa dengan nak Jani, dan kami semua juga sudah klik, jadi bagaimana pak?".

Penjelasan papa mas Dewa ini sungguh membuat shock kami, terlebih aku, hanya bisa menunduk bahkan aku tak berani menatap mas Dewa, Ya Allah betapa nekat sekali lelaki ini. Aku harus menjelaskan mulai darimana pada bapak ibu, pen nangis aja hiks.. hiks.

"Jani,,, dek,,,". Cubitan ibu di pinggangku menyadarkanku.

"Sakit bu..."

"Itu bapak nanya, jawab dek..."

"Apa pak? Gimana gimana?". Tanyaku, bapak cuma bisa geleng geleng kepala dan mas Abi menahan ketawa.

"Jani, jani sudah dengarkan tadi tujuan nak Dewa dan keluarganya datang, bagaimana tanggapan dan keputusan Jani?".

Setelah beberapa saat aku mencoba tenang dan menghembuskan nafas pelan
"Jani nurut apa kata bapak saja". Jawabku sambil menunduk.

"Lhooh kok nurut apakata bapak, kan nanti kedepannya Jani yang menjalani, memang beberapa hal kemarin kemarin Jani harus nurut apakata bapak, ibu dan Mas Abi, tapi kali ini bapak mau Jani yang mengambil keputusan".

"Jani bi ngu ng ba pak, Jani ga tau". Jawabku terbata dengan suara parau.

Ibu mulai bertindak mencairkan suasana.
"Ini sepertinya sudah pas untuk santap malam, mari mari kita makan malam dulu, monggo, mari bapa ibu, nak Dewa".

"Maaf semua, bisa saya berbicara dengan Jani, mau ya...". Sela mas Dewa saat semua mulai mengikuti ibu ke meja makan.

Hanya anggukan kepala yang kuberikan untuk jawaban. Aku membawa mas Dewa ke taman samping di rumah. Lumayan dingin malam ini, tapi jangan ngayal adegan mas Dewa memberikan jaketnya untuk ku pakai, ngayal. Udara memang dingin, dan itu membuatku bernafas lumayan lega.

"Silahkan duduk mas". Aku mempersilahkan mas Dewa duduk di gazebo mini yang bapak buat, tepat disamping kolam ikan koi milik bapak. Gemericik air dari filter air kolam yang memecah kesunyian ini. Sampai akhirnya aku bersuara.

"Mas Dewa mau ngobrol apa sama Jani, minta waktu mau ngomong, tapi malah diem aja, kalau memang ga ada yang di obrolin kita masyk aja yuk, mas Dewa pasti belum makan malam kan?".

"Hhhhmmm... oke, maaf... sebelumnya maaf atas semua ini, maaf karena hal yang mendadak ini, sesuai yang disampaikan papa saya tadi didalam, saya benar benar serius Jani, mungkin saya orangnya terlalu kaku, karena saya juga bingung harus gimana, saya takut kehilangan kamu, sudah cukup tiga tahun ini saya tikung kamu di sepertiga malam, kubuka hatimu dengan Al-Fatihah dan saya goncangkan hatimu dengan Al-Zalzalah saya rasa ini saat nya, mengikatmu dengan Ar-Rahman".

Betapa terkejut mendengar kata-kata yang membuatku semakin tak karuan, Ya Allah...

"Mas Dewa, tunggu, tiga tahun, maksud mas Dewa apa? Jani semakin ga ngerti".

"Iyya tiga tahun lalu saat kamu baru lulus sekolah pertama, ingat kan saat kamu dan teman temanmu asik berfoto di taman kota, saat teman yang lain sibuk dengan mengabadikan moment, ada salah satu diantara mereka yang wajahnya muram, dia bersungut sungut sendiri, dan entah hilang keseimbangan akibat apa, dia tercebur kekolam air mancur, semua orang mentertawakannya, termasuk teman temannya. Harusnya hari itu menjadi salah satu hari yang menyenangkan, tapi malah berakhir menyedihkan dan semakin menyedihkan dengan kecebur kolam. Anak itu menangis, saat saya berlari hendak menolongnya, ada pria paruh baya yang menghampirinya dan memeluknya, disusul dibelakangnya wanita berhijab yang cantik, membawa kue dengan lilin yang menyala. Tangisnya pun seketika berubah menjadi tawa dan tawa itu menular ke saya, betapa menggemaskan anak itu, beberapa saat kemudian terdengar suara teman temannya menyanyikan lagu ulang tahun, dan diakhiri pemotongan kue. Jani, apa kamu tidak ingat, saya salah satu laki-laki beruntung yang mendapat potongan kue ulang tahunmu, dan panggilan "kakak ganteng" yang kau ucapkan. Kamu jahat sekali, setelah mengucapkan itu main pergi begitu saja, tidakkah kamu tau apa yang saya rasakan, tapi kalu hal itu saya ungkapkan tidak etis sekali saya yang seorang mahasiswa, menyukai anak baru lulus smp, satu hal yang saya selalu ingat, namamu Jani Besariyanti, selama itu juga disetiap sujud dan doa saya selalu saya sisipkan namamu".

Lagi lagi mas Dewa membuatku terkejut. Ya gusti padahal moment kelulusan smp itu salah satu hal yang ga mau inget inget lagi, maluuuu. Membagongkan sekali sodara.

"Jadi,, jadi mas Dewa kakak laki laki itu, aduh malu banget".

"Iyya, jadi gimana dek?".

"Sebelumnya terimakasih, ta tapi Jani masih mau meneruskan study Jani, bahkan Jani baru beberapa bulan lagi jadi mahasiswa, Jani masih mau mulai berjuang, Jani mau menyenangkan Bapak Ibu, Jani mau bikin bapak ibu bangga sama Jani, Jani juga mau seperti mas Abi, yang selalu buat bapak ibu senyum. Jani... ". Hanya air mata yang berbicara.

"Ya, saya mengerti dengan semua itu Jani, baik pribadi saya sendiri ataupun keluarga saya tidak akan menghalangi niat kamu itu, kamu masih tetap putri bapak ibu, saya ga akan menghalangi keinginan kamu untuk berbakti sama orangtua. Saya bukannya mau nikahin kamu besok pagi dek, saya cuma mau mengikat kamu saja, meski belum ikatan pernikahan, setidaknya saya tenang, saat nantinya berjauhan, kita saling terikat satusamalain. Karena sebenarnya, bulan depan saya harus ke London melanjutkan study S2 saya".

Ya Allah, ini kejutan apalagi.

"Mas Dewa suka bangetsih bikin Jani terkejut, Jani jadi tambah gabisa ngomong apa-apa."

"Sayang, Jani... masyk dulu yuk, ajak mas Dewa nya juga, ayo makan malam dulu, nanti ngobrolnua dilanjut.". Suara ibu tiba tiba masuk, ikut larut dalam pikiranku, sampai akhirnya mas Dewa menyentuh pundakku dan menyadarkanku. Tanpa kata, aku berjalan masuk menuju meja makan diikuti mas Dewa. Ternyata semua orang telah menyudahi makan malam. Semua kembali berkumpul di ruang tamu, aku dan mas Dewa makan dalam diam, hanya sesekali dentingan sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Banyak hal yang terus berputar dalam pikiranku, mempertimbangkan semua, kalau begini aku bagaimana, kalau begitu apa akan ada yang terluka, saat mengakhiri makan malam dan menuju para orang tua, hatiku semakin tak menentu, aku gamau jawabanku membuat salah satu pihak terluka dan sedih. Karena we never know everything, but Allah knows everything. Mulutku diam terkunci, tapi hatiku, terus merapal doa.

Bapak yang pertama bersuara sesaat aku duduk disebelahnya "Nah, ini yang sedari tadi kita tunggu tunggu, gimana nduk? Sudah bisa merangkai kata?". Ya Allah Bapak masih sempat anak gadisnya di becandaain. Tetap fokus Jani, jangan panik jangan panik. Bismillahirrohmanirrohim.

"Bapak, Jani ........



Tidak ada komentar:

Posting Komentar